Awal Penerbitan di Indonesia
1. Zaman Hindia Belanda
Pada
tahun 1596 Cornelis de Houtman memimpin para pedagang Belanda, menjadi awal
perkembangan dunia cetak-mencetak di Indonesia, digunakan untuk penyebaran
surat kabar bagi kepentingan perdagangan dan pemerintahan. Tahun 1615, dari
Batavia berita disalin dan dikirim ke beberapa wilayah kepulauan Indonesia.
Kemudian tahun 1624, adanya mesin cetak yang dibawa dari Belanda oleh
misionaris gereja. Namun, kurangnya tenaga ahli yang dapat menjalankan mesin
menyebabkan kegiatan sangat kurang berkaitan dengan percetakan. Tahun 1644,
Ambon/KTI (Kawasan Timur Indonesia) sudah teratur menerima berita. Selanjutnya,
pada tahun 1659 Cornelis Pijl memprakarsai percetakan dengan memproduksi Tij
Boek. Buku tertua ini tidak dapat ditemui lagi di manapun, namun ada yang
menyebutkan Tij Boek berupa kalender atau semacam almanak. Tahun 1669 atas
perintah Gubernur Jendral dicetak Cathecismus salinan S. Dankaert. Sedangkan
tahun 1684, buku tebal pertama dicetak. Buku bahasa Portugis ini berjudul
Differenca da Christandade em que Claramente Semanifiesta, 197 halaman
menguraikan tentang agama Kristen. Penulisnya Joan Ferreira A. De‘almeida,
menetap di Batavia sejak 1663-1691. Oplag atau jumlah eksemplar maksimal 250
eks. Tahun 1670 sampai 1856 penerbitan semakin ramai, banyak buku yang dicetak
tipis-tipis, buku sajak, buku kamus Melayu-Belanda, dan banyak terbitnya surat
kabar di Batavia dan sekitarnya.
2. Zaman Peranakan Tionghoa
Dasawarsa
ini (1855) beberapa surat kabar bahasa melayu terbit bulanan, bulanan Bintang
Oetara (Rotterdam, Februari 1856), Soerat Chabar beyawi (Batavia, April 1858), mingguan Slompret Melayoe
(Semarang, Februari 1860), Bintang Timoer (Surabaya, Mei 1862), mingguan
Bianglala(Batavia, September 1867).
Golongan
Peranakan Tionghoa membuat iklan pada surat kabar akibatnya mereka berlomba
untuk dapat berbahasa melayu, termasuk melalui jalur pendidikan atau sekolah.
Menterjemahkan banyak kisah asli Cina salah satunya kisah tiga negara.
Dasawarsa
1880-an sedikitnya 40 karya terjemahan dari cerita-cerita asli Cina. Tidak
hanya itu antara 1903 – 1928 penerbit milik Tionghoa memberikan kurang lebih
100-an novel asli dari 12 pengarang Tionghoa, beberapa diantaranya mengalami
cetak ulang (balai pustaka s/d 1928 hanya menerbitkan 20 novel).
3. Zaman Balai Poestaka
Pada
14 September 1908 Belanda membentuk Komisi Bacaan Rakyat yang merupakan cikal
bakal (embrio) Balai Poestaka. BP adalah penerbit buku pertama yang dilahirkan
pemerintah Belanda. Keberadaan komisi ini memberikan andil besar terhadap
pengembangan buku dan penerbitan. Awalnya komisi ini hanya menerbitkan bacaan-bacaan
ringan, kemudian muncul karya-karya terjemahan adaptasi novel-novel bahasa
Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan Arab. Tahun 1910 komisi mulai merekrut
sejumlah ahli bahasa Jawa dan Sunda untuk menerjemahkan berbagai karya asing
itu ke dalam 2 bahasa tersebut. Komisi dianggap sukses menjalankan tugasnya
oleh pemerintah Belanda sehingga perlu mengembangkan lembaga/komisi menjadi
institusi tersendiri dengan nama baru. Pada 22 September 1917 pemerintah
Belanda membentuk lembaga yang diberi nama Balai Poestaka sebagai penghormatan
terhadap D.A. Rinkes yang sukses mengelola Komisi Bacaan Rakyat. Tahun 1921,
Balai Poestaka memiliki mesin cetak sendiri. Sementara pada tahun 1930 D.A.
Rinkes dinobatkan sebagai “Bapak Balai Poestaka“.
4. Kelahiran IKAPI
Ikatan
Penerbit Indonesia (IKAPI) adalah asosiasi profesi penerbit satu – satunya di
Indonesia yang menghimpun para penerbit buku dari seluruh Indonesia. IKAPI
diprakarsai oleh Sutan Takdir Ali Syahbana, M Jusuf Ahmad, dan Ny.
Notosoetarjo. IKAPI lahir pada tanggal 17 Mei 1950, lahir sebagai wadah
penerbit Indonesia, berdasarkan azas Pancasila, kegotong royongan dan
kekeluargaan. Atas kesepakatan para pendiri IKAPI diangkatlah Achmad
Notosoetardji sebagai ketua pertama IKAPI , Ny. Sutan Takdir Alisyahban sebagai
wakil ketua, M. Jusuf Ahmad sebagai bendahara, Machmoed sebagai sekretaris, dan
John Sirie sebagai komisaris.
Kongres
IKAPI I diadakan pada tanggal 16 – 18 Maret 1958 di Jakarta dan Kongres I
persatuan toko buku Indonesia (PTBI) menetapkan 21 Mei sebagai hari buku
nasional. dari kongres tersebut adalah terbentuknya cabang-cabang IKAPI yaitu
di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara. IKAPI juga
meluncurkan majalah di bidang perbukuan bernama Surat Penerbit Nasional yang
diluncurkan pada bulan Maret 1954. Namun, majalah ini hanya bertahan enam nomor
dan selanjutnya tidak terbit lagi.
Komentar
Posting Komentar